Jumat, 03 Mei 2013

Ini Bukan Tempatku


                Aku tinggal disebuah desa kecil di kabupaten terbarat pulau jawa, Pandeglag, kota dengan tiga gunung menjulang (aseupan, karang, dan pulosari) yang menambah keindahan dan membuatnya tampak lebih megah dan  gagah, kota dengan badak cula satu sebagai simbol kebanggaan yang memang hanya hidup di pandeglang tepatnya di ujung kulon, kota dengan pantai yang berjejer dari utara hingga ke selatan yang saya lihar belum dimanfaatkan secara maksimal, yang mungkin semua itu bukan lagi menjadi bagian dari kabupaten pandeglag karna banyaknya orang yang memiliki “otak makar”. –ah sudahlah- mending Kembali lagi ke desaku yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, jauh dari politisasi kegiatan yang membuatku merasa lebih nyaman, desa yang menjadi saksi kelahiranku, desa yang menjadi saksi tumbuhnya diriku. Desa yang menemani keceriaanku semasa kecil, desa yang memberikan penghidupan pada keluargaku dan keluarga yang lain. –ah, tak akan kulupakan rasanya tempat ini-

                Saat ini usiaku 20 tahun, seperti kebanyakan warga desa lainnya, tak ada kemampun untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan pada akhirnya aku sampai pada masa dimana aku harus pergi meninggalkan desaku, pergi dengan berjuta harapan tergantung di atas awan, pergi menjemput impian-impian yang dari kecil tak pernah aku memimpikannya, inilah saatnya dimana aku  harus berjuang melewati kehidupanku sendiri, kehidupan yang ku rasa begitu terjal dan alam yang kurasa begitu kompak untuk menjungkalkanku ketika aku lemah. Pada akhirnya,akupun harus pergi meninggalkan semua yang ku cintai, bukan pergi untuk selamanya.

                Pagi ini aku terbangun dari tidurku yang tak begitu lelap, kurasakan ada yang berbeda, tak ada lagi suara-suara khas desaku yang biasa berdering dipagi hari, yah, suara burung-burung itu sudah tak ada lagi,  terganti oleh bisingnya kendaraan bermotor yang mungkin sudah sejak dinihari memenuhi jalanan. Saat kubuka pintu dan melihat dunia, tak ada lagi embun dan udara sejuk yang menghampiriku yang menambah semangat untuk mengarungi hari semuanya berganti dengan udara segar dari lubang-lubang penghasil CO2, udara yang terasa menusuk di paru-paru. Sejenak aku terdiam dan kemudian ku tersadar bahwa aku suadah tak berada didesaku.

                Dimana aku.? Yah, akhirnya aku sadar, aku sudah berada di arena pertarungan, aku sudah berada di kota dimana jutaan orang dari penjuru tanah air naenggantungkan nasibnya, melakukan perburuan ditengah hutan tembok dan beton-beton yang menjulag tinggi, berjuang ditengah-tengah hewan yang terbuat dari besi. Kota dengan orang-orang yang siap menjungkalkanmu saat kau mulai lemah atau menaruhmu ke dasar rantai makanan saat kau benar-benar lemah . kota manusia yang persis seperti taman margasatwa di afrika yang sering ku lihat di chanel National Geografic dimana sang singa yang menjadi rajanya dan sesekali raja pun harus terjungkal saat lemah.

                Akhirnya, aku memberanikan diri untuk benar-benar terjun di arena, ku arungi hari, tak ada lagi kebersahajaan seperti didesaku dimana para penduduk saling menyapa satu sama lain . ditempat ini, sepertinya hanya ego masing-masing yang menguasai, semuanya berkeinginan untuk menjadi pemenang, semuanya  berkeinginan untuk menjadi si singa dimana seseorang menjadi sosok kanibal, meakan sesamanya tanpa perasaan hanya karna ingin hasratnya terpenuhi. –ah, mungkin tak semuanya seperti itu, mungkin masih banyak orang yang masih berfikir seperti manusia ditempat ini. Haripun kulalui dengan berbagai pertanyaan menyeruak, haruskah aku seperti mereka untuk menjadi pemenang.?

                Haripun mulai gelap, tapi kurasa tak segelap desaku yang minim lampu, aku berjalan-jalan keluar dan kulihat perbedaan yang sangat mencolok, saat orang-orang didesa menikmati malam bersama keluarga. Disini, kehidupan sepertinya baru saja dimulai, saat dulu ku nikmati kedipan lampu-lampu yang keluar dari ekor kunang-kunang berwarna kehijauan dan bintang-bintang yang begitu jelas terlihat tanpa adanya penghalang namun ditempat ini kulihat kedipan lampu bukan keluar dari kunang-kunang, tapi dari bilatan kaca yang memancarkan cahaya dan sinar bintangpun seakan kalah karnaya.

                Baru beberapa hari aku meninggalkan kampung halaman, tapi serasa uda seminggu aku pergi *padahal iya* :D. Duhh.. rasaya ada kerinduan yang begitu dalam yang bisa membuat pertarungn ini berhenti detengah jalan, mungkin saat ini aku belum merasa jenuh dan bosan sehingga aku masih bisa bertahan, namun pada saatnya nanti akupun akan pulang, membawa hasil perjuangan, meninggalkan arena pertarungan yang tak mengenal peraturan. Dan semoga aku bisa bertahan sampai akhir. Pada saatnya nanti aku pasti pulang, karna INI BUKAN TEMPATKU.

Kamis, 02 Mei 2013

Jangan Sia-Siakan Hal Yang Tersisa


                Semua orang pasti pernah merasakan apa yang sering saya rasakan, saat dimana semangat begitu menggebu-gebu seakan mau “muncrat” di ubun-ubun atau ketika semangat “ngocor” bagai danau yang jebol sampe-sampe airnya mengering seakan tak ada lagi ikan-ikan yang bisa hidup didalamnya. Tapi taukah anda, danau yang jebol sampe kering takan benar-benar kering seperti yang terlihat, pasti ada yang akan tersisa meski sedikit, dan taukah anda dimana pusat kehidupan yang benar-benar terlihat didanau kering itu.? Yah, pasti di air yang menngenang.

                Sama seperti contoh danau di atas, kadang kala kita tak menemukan hal apaun ketika semangt kita menggebu-gebu, ketika kita berjuang habis-habisan melawan waktu ketika semangat tercurah lewat keringat-keringat yang mengalir tetap saja kita tak melihat apa yang kita cari. Dan pada akhirnya, celah-celah untuk keluarnya air-air semangat itupun bermunculan, perlahan tapi pasti, semangat kita mulai pergi meninggalkan kita. Banyak orang yang tak mampu menambal lubang-lubang itu bahkan lebih banyak lagi yang tak berniat mempertahankan tanggul agar tetap berdiri kokoh atau lebih memilih untuk hidup menikmatinya.

                Saat seseorang mampu mempertahankan tanggul semangatnya, dialah yang akan berdiri tegap diatasnya. Namun apa yang terjadi jika tanggul tersebut roboh dan airnya mengering.? Sebagian besar orang hanya melihat bahwa itu hanyalah bak kosong yang tak berpenghuni, tak ada kehidupan apapun disana, ikannya pasti udah kebawa hanyut bersama dengan air yang keluar. Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat, saat seseorang sudah merasa jenuh dengan apa yang ia kerjakan dia akan merasa lemah dan tak mampu lagi berbuat apa-apa, sehingga ia berfikir takan ada hal apapun yang akan dia hasilkan jika terus berada didalam keadaan itu, semangatnya hilang total bersama dengan berjalannya waktu.
Lihat hal kecil yang tersisa.

                Seperti danau diatas, semangat juga tak akan benar-bener mengering, pasti akan ada yang tersisa, seperti semangat untuk makan, minum, tidur, dan yang pasti semangat untuk buang hajat *hahaha . nah, jangan sia-siakan semangat yang tersisa itu, ditengah kegalauan atau hilangnya semangt hidup pasti kita akan banyak berfikir *lebih tepatnya menyesali keadaan* :D. Dan untuk itu, cobalah kita lihat filosofi danau yang saya ceritakan di atas, sekering-keringnya danau pasti akan ada air yang menggenang, dan disitulah kehidupan berkumpul. Kalau kata Ust. Yusuf Mansur -dalam bukunya kuun fayakun-  “selalu ada harapan ditengah kesulitan” seperti ikan-ikan yang mengharapkan kehidupan didalam genangan air meskipun mereka tau genangan itu akan benar-benar kering seiring berjalannya waktu.

                Inti yang ingin saya sampaikan adalah, sesulit dan selemah apapun kita jangan sia-siakan semangat yang tersisa, manfaatkan itu, jangan biarkan mengering bersama berjalannya waktu. Jadikan itu sebagai bekal untuk kembali mengarungi bahtera kehidupan yang luarbiasa terjalnya.

(tulisan ini hanya untuk menyemangati diri saya sendiri, tanpa ada maksud menggurui) J

Hanya Dipangkuanmu Kutemukan Cinta Sejati


                Tak ada seorangpun dimuka bumi ini yang bisa menyangkal ketulusan cinta seorang ibu kepada anaknya, tak ada seorangpun di muka bumi ini yang lahir tanpa ibu, tak ada seorangpun dimuka bumi ini yang menyankal kesengsaraan yang ibu rasakan ketika mengandung adalah sebuah kebahagiaan baginya. Saat kasih berkata tentang cinta, apakah kita langsung meyakininya.? Dan ketika seorang ibu berkata cinta pada anaknya apakah ada yang meragukannya.?

·         Ibu.. sosok sempurna yang sering tak berarti bila disandingkan dengan kekesih / sahabat.
·         Ibu.. sosok mulia yang sering tak berarti bila disandingkan dengan kesibukan pekerjaan.
·         Ibu.. wakil Allah dimuka bumi yang sering tak berarti bila disandingkan dengan kemewahan dunia.

Dan masih banyak hal lain yang membuat seorang ibu berada dalam urutan yang mengerikan dalam kehidupan ini.

                Tak ada seorangpun di muka bumi ini yang menyangkal bahwa kita dibesarkan dengan kasih sayang dan ketulusan seorang ibu. Ingatkah kita saat ibu mempertaruhkan nyawanya demi sang buah hati yang 9 bulan lamanya ia nantikan.? Ingatkah kita saat ibu memeluk kita dengan tangisan kebahagiaan padahal kita hampir saja membunuhnya.? Ingatkah kita saat ibu terbangun ditengah lelapnya tidur hanya untuk menyusui.? Ingatkah kita saat ibu rela memberikan seluruh hidupnya hanya untuk kita.? Ingatkah kita akan semua pengorbanan yang telah ibu lakukan hanya untuk membuat kita tetap tertawa bahagia.? Tentu saja kita takan mengingatnya, iya kan.?

                Sudah berapa tahun kita hidup didunia ini.? Pernahkah ada sedikit saja ada keraguan dalam diri kita tentang ketulusan seorang ibu.? Cukup Jawab dalam hati anda saja.  Jika taka ada, pantaskah beliau berada diurutan kedua setelah sahabat.? Urutan kedua setelah kekesih.? Urutan kedua setelah pekerjaan.? Urutan kedua setelah duniamu.? Atau mungkin urutan terakhir setelah semuanya.?

                Sudah berapa tahun kita hidup didunia ini.? Ingatkah kalian kapan terakhir kali kita mau dipeluk sang ibu.? Ingatkah kita kapan terakhir kali kita mau tidur dipangkuannya.? Ingatkah kita bagimana rasanya semua itu.?  Mungkin saat kanak-kanak kita semua sering merasakannya, namun seiring berjalannya waktu dan beranjak dewasa kitapun merasa malu dan enggan melakukannya, dan taukah kalian, ibu menyimpan kerinduan akan hal itu. Dan tak perlu dipungkiri, kitapun merasakannya, merasakan kehausan akan cinta dan ketulusan yang sebenarnya.

                Sudah berapa tahun kita hidup didunia ini.? Pernahkah kita menayakan apayang ibu inginkan dari diri kita.? Jika pernah, apa jawaban ibumu.? Harta, kekayaan, dunia, mengembalikan apa yang telah ia berikan.? Ah, rasanya tidak mungkin ibumu minta hal seperti itu. Benar.? Lalu apa yang ibumu minta.? HANYA KEBAHAGIAAN DIRIMU.! Betul.? Tapi pantaskah kita mendapatkan kebahagiaan itu melebihi ibu.?

                Tak jarang kita dapati, seorang ibu menjadi tak berarti saat kita telah mendapatkan dunia kita sendiri, menayakan kabar kekesih menjadi hal yang mendesak dibanding menayakan kabar ibu, perhatian sang kekasih menjadi yang palingberharga dibanding perhatian ibu yang sudah jelas kadar ketulusannya. Waktumu untuk sahabat dan pekerjaan menjadi lebih penting dibanding dengan menikmati waktu bersama ibu. Dan mendegarkan keluh kesah ibu menjadi sangat membosankan  dibandingkan dengan mendengar curhat sang kekasih.

                 Sudah berapa tahun kita hidup di dunia ini.? Sudah berapa lama kita tak merasakan kasih sayang ibu. Bukan ibu yang tak mau memberikan, tapi kita yang memilih untuk menjauhinya, kita sendiri yang sudah tak mau menerimanya, kita sendiri yang sudah tak mempedulikan kasuh sayangnya. Kita hanya menuruti ego kita yang menaganggap diri kita sudah berbeda, kita bukan anak kecil lagi, kita sudah bisa mandiri. Tapi sadar atu tidak, jiwa kita haus akan hal itu, kita butuh semua itu, dan tahukah kalian kalau ibumu merindukanmu, ia masih menganggap diri kita seperti yang dulu, anak-anak yang butuh perhatian, anak-anak yang butuh pelukan. Tahukah kalian kalau ibumu masih meenantikanmu sama seperti menantimu saat pulang dari sekolah SD.

                Pulanglah kawan, temui ibumu, peluk ibumu, cium kakinya dan nikmatilah saat-saat kebersamaan dengannya, rasakan kembali hal yang sudah lama tak kita rasakan, kenanglah masa-masa dimana ibumu memelukmu saat kau menangis, menidurkanmu dalam hangatnya pelukannya, ceritakanlah semua keluh kesahmu, ibumu takan merasa terbebani malah akan bahagia karnanya. Jangan malu akan hal itu. Lakukanlah sebelum kita tak mampu lagi melakukanya sampai akhir hayat, jangn buat diri kita menyesal.

                Salam hangat kawan, semoga kita bisa memberikan hal terbaik dalam hidup kita untuk ibu.

Penentuan Sebuah Akhir


                Mungkin sebagian besar orang  takut akan sebuah akhir.  Padahal mau atau tidak, sebuah akhir pasti akan ada. Baik itu akhir sebuah hubungan, perjuangan, dan yang sudah pasti adalah akhir dari sebuah kehidupan. Banyak diantara kita melihat sebuah akhir adalah hal yang menakutkan, terutama akhir dari sebuah perjuangan, mangkannya tak jarang kita melihat seseorang “ogah” berjuang hanya karna takut akan berakhir dengan sebuah kehancuran atau kegagalan.
                Tak banyak yang menyadari bahwa sebuah hasil hanya dapat terlihat ketika kita sudah melakukan perjuangan / proses itu sendiri, jadi tak mungkin rasanya  kita hanya mengira-ngira kemungkinan yang akan terjadi nanti tanpa kita melalui prosesnya. Anehnya, bany ak yang terbawa oleh alur kemungkinan yang mereka ciptakan sendiri sehingga mereka hanya mengikuti alur yang sudah ada, secara tidak sadar mereka masuk kedalam lingkaran atau zona yang mereka takutkan tanpa ada perlawanan.
                Mungkin hal-hal seperti itulah yang dulu pernah saya rasakan, saat semua beban bertumpuk dipundak, saat itu pula “kegalauan” dalam menghadapi masa depan mulai menghampiri. Banyak kata-kata pengandaian dan pertanyaan  yang kata banyak motivator tak boleh terucap, mungkinkah ?, apakah ?, andaikan ? mengapa ? –de el el- sering sekali menggelantung di benak saya dan mungkin sampai sekarang juga kata-kata seperti itu masih sering berkeliaran di otak saya. Sangat disayangkan memang, karna selama saya berfikir, tak ada satupun hal berguna yang saya lakukan dan sudah sangat dapat dipastikan, tak ada satupun hasil dari kemungkinan-kemungkinan yang saya bayangkan tercapai. Bodohnya saya, menbiarkan diri terbawa ke zona ketakutan yang saya ciptakan sendiri.
                Dan ketika saya menyalahkan diri, barulah terfikir betapa banyak hal yang dulu bisa saya lakukan yang mungkin hasilnya sudah bisa rasakan saat ini. Menyesal.? Manusiawi. Tapi tak boleh membuat saya kembali terdiam dan memikirkan hal-hal yang sudah berlalu, ini saatnya kita tentukan langkah baru, maju bergerak atau habis tersapu waktu.