Aku
tinggal disebuah desa kecil di kabupaten terbarat pulau jawa, Pandeglag, kota
dengan tiga gunung menjulang (aseupan, karang, dan pulosari) yang menambah
keindahan dan membuatnya tampak lebih megah dan
gagah, kota dengan badak cula satu sebagai simbol kebanggaan yang memang
hanya hidup di pandeglang tepatnya di ujung kulon, kota dengan pantai yang
berjejer dari utara hingga ke selatan yang saya lihar belum dimanfaatkan secara
maksimal, yang mungkin semua itu bukan lagi menjadi bagian dari kabupaten
pandeglag karna banyaknya orang yang memiliki “otak makar”. –ah sudahlah-
mending Kembali lagi ke desaku yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, jauh dari
politisasi kegiatan yang membuatku merasa lebih nyaman, desa yang menjadi saksi
kelahiranku, desa yang menjadi saksi tumbuhnya diriku. Desa yang menemani
keceriaanku semasa kecil, desa yang memberikan penghidupan pada keluargaku dan
keluarga yang lain. –ah, tak akan kulupakan rasanya tempat ini-
Saat
ini usiaku 20 tahun, seperti kebanyakan warga desa lainnya, tak ada kemampun
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan pada akhirnya
aku sampai pada masa dimana aku harus pergi meninggalkan desaku, pergi dengan
berjuta harapan tergantung di atas awan, pergi menjemput impian-impian yang dari
kecil tak pernah aku memimpikannya, inilah saatnya dimana aku harus berjuang melewati kehidupanku sendiri,
kehidupan yang ku rasa begitu terjal dan alam yang kurasa begitu kompak untuk
menjungkalkanku ketika aku lemah. Pada akhirnya,akupun harus pergi meninggalkan
semua yang ku cintai, bukan pergi untuk selamanya.
Pagi ini
aku terbangun dari tidurku yang tak begitu lelap, kurasakan ada yang berbeda,
tak ada lagi suara-suara khas desaku yang biasa berdering dipagi hari, yah,
suara burung-burung itu sudah tak ada lagi,
terganti oleh bisingnya kendaraan bermotor yang mungkin sudah sejak
dinihari memenuhi jalanan. Saat kubuka pintu dan melihat dunia, tak ada lagi
embun dan udara sejuk yang menghampiriku yang menambah semangat untuk
mengarungi hari semuanya berganti dengan udara segar dari lubang-lubang
penghasil CO2, udara yang terasa menusuk di paru-paru. Sejenak aku terdiam dan
kemudian ku tersadar bahwa aku suadah tak berada didesaku.
Dimana
aku.? Yah, akhirnya aku sadar, aku sudah berada di arena pertarungan, aku sudah
berada di kota dimana jutaan orang dari penjuru tanah air naenggantungkan
nasibnya, melakukan perburuan ditengah hutan tembok dan beton-beton yang
menjulag tinggi, berjuang ditengah-tengah hewan yang terbuat dari besi. Kota
dengan orang-orang yang siap menjungkalkanmu saat kau mulai lemah atau
menaruhmu ke dasar rantai makanan saat kau benar-benar lemah . kota manusia
yang persis seperti taman margasatwa di afrika yang sering ku lihat di chanel
National Geografic dimana sang singa yang menjadi rajanya dan sesekali raja pun
harus terjungkal saat lemah.
Akhirnya,
aku memberanikan diri untuk benar-benar terjun di arena, ku arungi hari, tak
ada lagi kebersahajaan seperti didesaku dimana para penduduk saling menyapa
satu sama lain . ditempat ini, sepertinya hanya ego masing-masing yang
menguasai, semuanya berkeinginan untuk menjadi pemenang, semuanya berkeinginan untuk menjadi si singa dimana
seseorang menjadi sosok kanibal, meakan sesamanya tanpa perasaan hanya karna
ingin hasratnya terpenuhi. –ah, mungkin tak semuanya seperti itu, mungkin masih
banyak orang yang masih berfikir seperti manusia ditempat ini. Haripun kulalui
dengan berbagai pertanyaan menyeruak, haruskah aku seperti mereka untuk menjadi
pemenang.?
Haripun
mulai gelap, tapi kurasa tak segelap desaku yang minim lampu, aku
berjalan-jalan keluar dan kulihat perbedaan yang sangat mencolok, saat
orang-orang didesa menikmati malam bersama keluarga. Disini, kehidupan
sepertinya baru saja dimulai, saat dulu ku nikmati kedipan lampu-lampu yang
keluar dari ekor kunang-kunang berwarna kehijauan dan bintang-bintang yang
begitu jelas terlihat tanpa adanya penghalang namun ditempat ini kulihat
kedipan lampu bukan keluar dari kunang-kunang, tapi dari bilatan kaca yang
memancarkan cahaya dan sinar bintangpun seakan kalah karnaya.
Baru
beberapa hari aku meninggalkan kampung halaman, tapi serasa uda seminggu aku
pergi *padahal iya* :D. Duhh.. rasaya ada kerinduan yang begitu dalam yang bisa
membuat pertarungn ini berhenti detengah jalan, mungkin saat ini aku belum
merasa jenuh dan bosan sehingga aku masih bisa bertahan, namun pada saatnya
nanti akupun akan pulang, membawa hasil perjuangan, meninggalkan arena
pertarungan yang tak mengenal peraturan. Dan semoga aku bisa bertahan sampai
akhir. Pada saatnya nanti aku pasti pulang, karna INI BUKAN TEMPATKU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar